Kita melihat bahwasanya akhir-akhir ini perolehan medali Negara Indonesia untuk emas sangat rawan, antara angka 1 dan 2 atau bahkan mungkin sekitaran harga seperti itu. Ini terulang kembali seperti kejadian SEA GAMES events kemarin. Seperti biasa, tetap Negara semacam china, korea selatan dan jepang mendominasi medali emas dengan skor puluhan, bahkan hingga saat ini Negara china tercatat dengan skor medali bernilai hingga menyentuh angka ratusan.
Kita patut tercengang dengan Negara seabrek penduduk, tetapi minim prestasi. Ada apa dengan dunia perolahragawan di Indonesia? Apakah terjadi krisis internal hingga berpengaruh pada mental pemain atau atlit atlit di Indonesia yang berujung pada tetap stabilnya prestasi Indonesia? Pertanyaan yang bagus untuk ditelaah, mengingat negeri yang kaya akan sumber daya alam ini seharusnya bisa memberikan biaya untuk membuat semacam fasilitas yang wah bagi para atlit sehingga memungkinkan para atlit dapat berlatih secara maksimal dengan perolehan medali yang klimaks yang pada akhirnya dapat membanggakan Negara Indonesia pada umumnya dan masyarakat regional daerah masing-masing sesuai asal atlit pada khususnya. Namun mengapa yang terjadi justru sebaliknya? Marilah kita mengurai benang kusut ini.
Perseteruan antara pelatih, organiasi dan pengurus? Mungkin saja itu terjadi. Seperti angkat besi di jawa timur. Lihat saja pernah disinggung dalam Kompas regional Surabaya bahwasanya terjadi perbedaan antara pengurus pusat dati Surabaya dengan pengurus organisasi setempat. Perbedaan ini seringkali terus bermunculan di kalangan-kalangan intern, hingga selidik punya selidik berpengaruh terhadap para atlit-atlit yang bermain di organisasi setempat dikarenakan hembusan berita yang datang silih berganti selama para atlit itu menemuh latihan di sasana latihan yang bersangkutan, atau bahkan malah mencuat hingga terdengar semacam media, sehingga media mem blow-up dan terbentuklah semacam “skandal terselubung” dalam tubuh organisasi.
Bagaimanapun juga ini dapat berpengaruh bagi mental,dan psikologis yang utama. Sedangkan efek fisik berpengaruh pada efek sekunder, berupa ketidak fokusan para atlit yang dilatih maupun mulai berhembusnya ajaran-ajaran negatef tertentu dari pihak oposisi pembuat skandal bisa membuat para atlit membangkang dari latihan.
Bertolak dari sini, ada yang perlu dibenahi sebenarnya dari sisi manajerial ini, sebelum kita men-judge bahwasanya Negara Indonesia yang kaya akan SDM ini, apabila SDM nya memang tidak benar-benar berkompeten dibidangnya, ataupun sebaliknya, ia memang bisa tetapi ada birokrasi-birokrasi tertentu yang menyelewengkan atau membuat sedemikian hingga para manajerial termasuk didalamnya sie administrasi maupun pelatih sendiri di suap ataupun main belakang dengan cara nepotisme maupun korupsi yang terselubung.
Menanti Keajaiban ataukah tetap stabil?
Kita mengerti akhir-akhir ini dengan melihat perolehan medali yang dimiliki Indonesia dalam sebuah televisi swasta maupun nasional, sangat disayangkan hasil yang diperoleh. Bahkan bisa dibilang bahwasanya Negara kita setingkat dengan Negara yang bergolak semacam Thailand maupun Vietnam. Agak miris memang melihat sebenarnya Negara semacam jepang yang merupakan Negara bekas hancuran bom Hiroshima dan Nagasaki, maupun Negara komunis semacam china yang notabene beda paham tetapi dengan penduduk yang termasuk dalam kategori maksimal, bisa memanfaatkan sumber daya manusianya secara maksimal, ini terbukti dengan sapu bersih yang dilakukan oleh atlit semacam dari Negara china maupun jepang.
Dengan kondisi yang seperti ini, haruskah kita menanti keajaiban yang ada? Seolah-olah birokrasi yang kotor terhapus secara sendirinya? Berharap dewi fortuna yang mujur semacam permainan sepak bola karena bola itu bundar? Ataupun kita balik ke alasan yang paling “manusiawi”, namanya permainan pasti ada menang atau ada yang kalah?
Ataukah kita menunggu tetap stabil? Sama seperti perolehan Negara Indonesia seprti tahun-tahun yang lalu, minim akan prestasi tetapi sarat akan korupsi? Kita patut mengacungi jempol upaya yang dilakukan oleh beberapa klub-klub sepak bola di Indonesia yang mengikutkan diri dalam pentas LPI (Liga Primer Indonesia) yang dihelat oleh salah satu televisi swasta di Indonesia. Bukannya kontra akan adanya ISL (Indonesia Super League), tetapi lebih dari itu, ini masalah tentang bagaimana caranya supaya Indonesia dengan sistem yang terbaru, terobosan baru bisa membuat regulasi sepak bola di Indonesia sedemikian hingga dapat membantu kemajuan dari sisi pemain sepak bola Indonesia sendiri, yakni salah satunya pemilik klub yang bermain di LPI di set sedemikina hingga tidak bergantung pada APBD, yang notabene APBD pada laga per klub yang rata-rata pengikut ISL termasuk diindikasi terjadi adanya korupsi.
Inilah merupakan salah satu terobosan yang diberikan kepada para elit-elit di dunia perekonomian semacam pengusaha Arifin Panigoro ketika melihat suatu fakta bahwasanya apa yang terjadi pada ISL seharusnya bisa menelurkan para pemain-pemain yang baik untuk bisa diseleksi di SEA GAMES namun tetap bisa menghasilkan medali. Bagaimankah dengan cabang yang lain? Kalau memang ada, beranikah menggelontorkan dana sekian milyar, untuk perbaikan yang benar-benar menghasilkan “pembaharuan” walaupun itu ditentang-tentang oleh para petinggi organ
isasi olahraganya masing-masing? Kalau memang ada, itu layak diacungi dua jempol!Kita patut tercengang dengan Negara seabrek penduduk, tetapi minim prestasi. Ada apa dengan dunia perolahragawan di Indonesia? Apakah terjadi krisis internal hingga berpengaruh pada mental pemain atau atlit atlit di Indonesia yang berujung pada tetap stabilnya prestasi Indonesia? Pertanyaan yang bagus untuk ditelaah, mengingat negeri yang kaya akan sumber daya alam ini seharusnya bisa memberikan biaya untuk membuat semacam fasilitas yang wah bagi para atlit sehingga memungkinkan para atlit dapat berlatih secara maksimal dengan perolehan medali yang klimaks yang pada akhirnya dapat membanggakan Negara Indonesia pada umumnya dan masyarakat regional daerah masing-masing sesuai asal atlit pada khususnya. Namun mengapa yang terjadi justru sebaliknya? Marilah kita mengurai benang kusut ini.
Perseteruan antara pelatih, organiasi dan pengurus? Mungkin saja itu terjadi. Seperti angkat besi di jawa timur. Lihat saja pernah disinggung dalam Kompas regional Surabaya bahwasanya terjadi perbedaan antara pengurus pusat dati Surabaya dengan pengurus organisasi setempat. Perbedaan ini seringkali terus bermunculan di kalangan-kalangan intern, hingga selidik punya selidik berpengaruh terhadap para atlit-atlit yang bermain di organisasi setempat dikarenakan hembusan berita yang datang silih berganti selama para atlit itu menemuh latihan di sasana latihan yang bersangkutan, atau bahkan malah mencuat hingga terdengar semacam media, sehingga media mem blow-up dan terbentuklah semacam “skandal terselubung” dalam tubuh organisasi.
Bagaimanapun juga ini dapat berpengaruh bagi mental,dan psikologis yang utama. Sedangkan efek fisik berpengaruh pada efek sekunder, berupa ketidak fokusan para atlit yang dilatih maupun mulai berhembusnya ajaran-ajaran negatef tertentu dari pihak oposisi pembuat skandal bisa membuat para atlit membangkang dari latihan.
Bertolak dari sini, ada yang perlu dibenahi sebenarnya dari sisi manajerial ini, sebelum kita men-judge bahwasanya Negara Indonesia yang kaya akan SDM ini, apabila SDM nya memang tidak benar-benar berkompeten dibidangnya, ataupun sebaliknya, ia memang bisa tetapi ada birokrasi-birokrasi tertentu yang menyelewengkan atau membuat sedemikian hingga para manajerial termasuk didalamnya sie administrasi maupun pelatih sendiri di suap ataupun main belakang dengan cara nepotisme maupun korupsi yang terselubung.
Menanti Keajaiban ataukah tetap stabil?
Kita mengerti akhir-akhir ini dengan melihat perolehan medali yang dimiliki Indonesia dalam sebuah televisi swasta maupun nasional, sangat disayangkan hasil yang diperoleh. Bahkan bisa dibilang bahwasanya Negara kita setingkat dengan Negara yang bergolak semacam Thailand maupun Vietnam. Agak miris memang melihat sebenarnya Negara semacam jepang yang merupakan Negara bekas hancuran bom Hiroshima dan Nagasaki, maupun Negara komunis semacam china yang notabene beda paham tetapi dengan penduduk yang termasuk dalam kategori maksimal, bisa memanfaatkan sumber daya manusianya secara maksimal, ini terbukti dengan sapu bersih yang dilakukan oleh atlit semacam dari Negara china maupun jepang.
Dengan kondisi yang seperti ini, haruskah kita menanti keajaiban yang ada? Seolah-olah birokrasi yang kotor terhapus secara sendirinya? Berharap dewi fortuna yang mujur semacam permainan sepak bola karena bola itu bundar? Ataupun kita balik ke alasan yang paling “manusiawi”, namanya permainan pasti ada menang atau ada yang kalah?
Ataukah kita menunggu tetap stabil? Sama seperti perolehan Negara Indonesia seprti tahun-tahun yang lalu, minim akan prestasi tetapi sarat akan korupsi? Kita patut mengacungi jempol upaya yang dilakukan oleh beberapa klub-klub sepak bola di Indonesia yang mengikutkan diri dalam pentas LPI (Liga Primer Indonesia) yang dihelat oleh salah satu televisi swasta di Indonesia. Bukannya kontra akan adanya ISL (Indonesia Super League), tetapi lebih dari itu, ini masalah tentang bagaimana caranya supaya Indonesia dengan sistem yang terbaru, terobosan baru bisa membuat regulasi sepak bola di Indonesia sedemikian hingga dapat membantu kemajuan dari sisi pemain sepak bola Indonesia sendiri, yakni salah satunya pemilik klub yang bermain di LPI di set sedemikina hingga tidak bergantung pada APBD, yang notabene APBD pada laga per klub yang rata-rata pengikut ISL termasuk diindikasi terjadi adanya korupsi.
Inilah merupakan salah satu terobosan yang diberikan kepada para elit-elit di dunia perekonomian semacam pengusaha Arifin Panigoro ketika melihat suatu fakta bahwasanya apa yang terjadi pada ISL seharusnya bisa menelurkan para pemain-pemain yang baik untuk bisa diseleksi di SEA GAMES namun tetap bisa menghasilkan medali. Bagaimankah dengan cabang yang lain? Kalau memang ada, beranikah menggelontorkan dana sekian milyar, untuk perbaikan yang benar-benar menghasilkan “pembaharuan” walaupun itu ditentang-tentang oleh para petinggi organ
sumber gambar :http://www.laosoc.com
0 komentar:
Post a Comment