Kita layak tercengang dan terpana manakala melihat banyak kandidat tersaring dan akhirnya terpilih gus dur dan soe harto dalam meraih gelar pahlawan nasional, yang nantinya akan di usulkan oleh Staff presiden dan nantinya akan di pilih oleh presiden secara langsung untuk ditandatangani dan dinobatkan. Namun, ada syarat-syarat tertentu yang tentunya harus dimiliki oleh pengusung gelar pahlawan. Memang Nantinya ini akan menimbulkan kontroversi, karena pasti ada yang mengira mengapa kok si A tidak terpilih, padahal tanda jasanya bla bla bla..
Seorang pemimpin nasional yang bergelar pahlawan nasional (yan tentunya disini sudah dalam status almarhumah) paling tidak ia harus memiliki sesuatu yang layak diteladani, terlepas dari dosa besar yang telah di perbuat oleh seorang pahlawan nasional, namun penilaian itu juga penting, mengingat seberapa absolutnya kekuasaan seorang pahlawan, menjadikannya pengurangan nilai tambah, bahkan bisa menjadi titik nadir minus yang ekstrim apabila sikapnya hitam diatas putih, layaknya berbuat baik, namun berdalih untuk menguntungkan diri sendiri atau untuk kepentingan kroni-kroni tertentu.
Dilema pencalonan pemilihan pahlawan nasional disini juga sangat mungkin terjadi mengingat kedua calon pilihan juga tentunya memiliki basic politik yang berbeda, namun perjalanan hidup merekalah yang mewarnai, sehingga terciptalah Indonesia yang sewarna dengan pewarna tadi, yakni pemimpin yang nantinya dinobatkan mendapatkan gelar pahlawan nasional maupun tidak. Tetapi, kita juga tidak boleh mengingkari kesalahan para pahlawan nasional, karena Negara Indonesia terbangun bukan dari suksesnya kebijakan para pemimpin yang akan dianugerahi, tetapi juga dari kesalahan ‘masa lampau’ yang dilakukan oleh pemimpin itu. Tapi disisi lain berdampak bahwasanya kegagalan kekuasaan oleh para calon yang nantinya mengerucut menjadi satu, terpilih mendapat gelar nasional, juga memberikan hasil ‘pewarnaan’ yang buruk pula. Layaknya hitam putih dan siang malam, kegagalan-kesuksesan berimbas pula kepada pemajuan Indonesia sekarang, berikut dengan baik dan buruknya regulasi yang ada.
Para staff presiden yang baik, benar jujur dan eksploratif akan kesalahan maupun kesuksesan masing-masing calon yang nantinya akan dinobatkan tentunya harus punya sense of humanity akan pilihannya yang akan dipilih untuk diajukan kepada presiden, ini dikarenakan mengemban kepercayaan oleh public akan bijak tidaknya pemilihan gelar ‘pahlawan nasional’ ini sangat dibutuhkan dan diharpkan oleh rakyat, sehingga rasa regret akan terpilihnya salah satu calon dari dua calon yang ada dapat terminimalisir dengan bukti-bukti yang validitasnya dapat dipertanggung jawaban, bukan karena kroni-kroni tertentu, atau karena bujuk-rayu kekayaan maupun nepotisme antar internal.
Sense of Humanity, disini adalah rasa kemanusiaan yang perlu di tingkatkan maupun di eksplor oleh para panelis maupun juri dalam penganugerahan ‘pahlawan nasional’ itu sendiri. Dengan menghayati, memikirkan dan melakukan telaah kritis akan biografi, gaya hidup, otobiografi maupun opini sanak saudara, masyarakat, dengan mengesampingkan rasa simpati, namun mementingkan rasa empati, netralitas maupun objektivitas yang diterapkan dengan standar yang tinggi, diharapkan sense of humanity ini dapat diraih secara mutlak tanpa gangguan nurani dari para juri atau staff oleh para kroni-kroni yang memanfaatkan uang dalam mentargetkan kemenangan suatu calon, yang menyebabkan hukuman social berupa cibiran oleh masyarakat.
Kemudian, mungkinkah mantan alamarhum presiden yang memang di black-list dosa besar oleh kaum tertentu, bisa memulihkan citranya apabila nanti (misalnya) terpilih menjadi orang yang bergelar pahlawan nasional? Memang agak susah mengingat apa yang ditimbulkannya, yang dilakukan dan diterapkannya benar-benar dirasakan oleh rakyat, sehingga agak susah menghapus atau paling tidak mengklarifikasi semacam ‘masalah’ yang ditimbulkan. Seperti kita ketahui, pikiran bawah sadar ini kerjanya tidak seaktif pikiran sadar, yang mana ia lebih banyak aktif ketika seseorang tidur. Namun, efeknya dalam kehidupan seseorang sangatlah menentukan, bahkan bisa dibilang, layaknya gunung es yang menyebabkan runtuhnya, pecahnya kapal titanic, kita tahu bahwasanya terlihat dari luar, gunung e situ hanya sebongkah batu atau karang kecil yang tersekat atau paling tidak terpisah oleh superficial dari permukaan air laut, namun bila kita melongok kebawah, maka akan terlihat bagian yang menjulang ke bawah besar. Nah bagian atas ini kita ibaratkan pemikiran sadar, sedangkan bagian bawah yang enjulang besar ini merupakan pikiran bawah sadar.Layaknya analogi ini diterapkan dalam setiap individu, yang mana individu berkumpul menjadi komunitas, komunitas yang saling berinteraksi membentuk komunitas sosial, yang mana komunitas social ini saling berinteraksi membentuk masyarakat sosial yang dinamis.
Memang agak filsuf sekali menganalogikan kinerja pikiran bawah sadar dengan menjulangnya gunung es, dengan stigma (entah itu stigma positif atau negatif) calon presiden almarhumah yang akan mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional ini. Namun, kalau kita realistic, agaknya bukanlah tindakan yang bijak untuk memilih almarhumah presiden yang mempunyai masa lalu dilematis sebagai pahlawan nasional, mengingat para juri nantinya apabila memilih pemimpin dilematis, akan menghadapi bermacam-macam kritik sosial yang sebenarnya bertolak dari resistivitas masyarakat akan hal yang pernah dilakukan oleh pemimpin tadi yang sebenarnya resistifitas ini berakar dari fenomena gunung es tadi.
Seorang pemimpin nasional yang bergelar pahlawan nasional (yan tentunya disini sudah dalam status almarhumah) paling tidak ia harus memiliki sesuatu yang layak diteladani, terlepas dari dosa besar yang telah di perbuat oleh seorang pahlawan nasional, namun penilaian itu juga penting, mengingat seberapa absolutnya kekuasaan seorang pahlawan, menjadikannya pengurangan nilai tambah, bahkan bisa menjadi titik nadir minus yang ekstrim apabila sikapnya hitam diatas putih, layaknya berbuat baik, namun berdalih untuk menguntungkan diri sendiri atau untuk kepentingan kroni-kroni tertentu.
Dilema pencalonan pemilihan pahlawan nasional disini juga sangat mungkin terjadi mengingat kedua calon pilihan juga tentunya memiliki basic politik yang berbeda, namun perjalanan hidup merekalah yang mewarnai, sehingga terciptalah Indonesia yang sewarna dengan pewarna tadi, yakni pemimpin yang nantinya dinobatkan mendapatkan gelar pahlawan nasional maupun tidak. Tetapi, kita juga tidak boleh mengingkari kesalahan para pahlawan nasional, karena Negara Indonesia terbangun bukan dari suksesnya kebijakan para pemimpin yang akan dianugerahi, tetapi juga dari kesalahan ‘masa lampau’ yang dilakukan oleh pemimpin itu. Tapi disisi lain berdampak bahwasanya kegagalan kekuasaan oleh para calon yang nantinya mengerucut menjadi satu, terpilih mendapat gelar nasional, juga memberikan hasil ‘pewarnaan’ yang buruk pula. Layaknya hitam putih dan siang malam, kegagalan-kesuksesan berimbas pula kepada pemajuan Indonesia sekarang, berikut dengan baik dan buruknya regulasi yang ada.
Para staff presiden yang baik, benar jujur dan eksploratif akan kesalahan maupun kesuksesan masing-masing calon yang nantinya akan dinobatkan tentunya harus punya sense of humanity akan pilihannya yang akan dipilih untuk diajukan kepada presiden, ini dikarenakan mengemban kepercayaan oleh public akan bijak tidaknya pemilihan gelar ‘pahlawan nasional’ ini sangat dibutuhkan dan diharpkan oleh rakyat, sehingga rasa regret akan terpilihnya salah satu calon dari dua calon yang ada dapat terminimalisir dengan bukti-bukti yang validitasnya dapat dipertanggung jawaban, bukan karena kroni-kroni tertentu, atau karena bujuk-rayu kekayaan maupun nepotisme antar internal.
Sense of Humanity, disini adalah rasa kemanusiaan yang perlu di tingkatkan maupun di eksplor oleh para panelis maupun juri dalam penganugerahan ‘pahlawan nasional’ itu sendiri. Dengan menghayati, memikirkan dan melakukan telaah kritis akan biografi, gaya hidup, otobiografi maupun opini sanak saudara, masyarakat, dengan mengesampingkan rasa simpati, namun mementingkan rasa empati, netralitas maupun objektivitas yang diterapkan dengan standar yang tinggi, diharapkan sense of humanity ini dapat diraih secara mutlak tanpa gangguan nurani dari para juri atau staff oleh para kroni-kroni yang memanfaatkan uang dalam mentargetkan kemenangan suatu calon, yang menyebabkan hukuman social berupa cibiran oleh masyarakat.
Kemudian, mungkinkah mantan alamarhum presiden yang memang di black-list dosa besar oleh kaum tertentu, bisa memulihkan citranya apabila nanti (misalnya) terpilih menjadi orang yang bergelar pahlawan nasional? Memang agak susah mengingat apa yang ditimbulkannya, yang dilakukan dan diterapkannya benar-benar dirasakan oleh rakyat, sehingga agak susah menghapus atau paling tidak mengklarifikasi semacam ‘masalah’ yang ditimbulkan. Seperti kita ketahui, pikiran bawah sadar ini kerjanya tidak seaktif pikiran sadar, yang mana ia lebih banyak aktif ketika seseorang tidur. Namun, efeknya dalam kehidupan seseorang sangatlah menentukan, bahkan bisa dibilang, layaknya gunung es yang menyebabkan runtuhnya, pecahnya kapal titanic, kita tahu bahwasanya terlihat dari luar, gunung e situ hanya sebongkah batu atau karang kecil yang tersekat atau paling tidak terpisah oleh superficial dari permukaan air laut, namun bila kita melongok kebawah, maka akan terlihat bagian yang menjulang ke bawah besar. Nah bagian atas ini kita ibaratkan pemikiran sadar, sedangkan bagian bawah yang enjulang besar ini merupakan pikiran bawah sadar.Layaknya analogi ini diterapkan dalam setiap individu, yang mana individu berkumpul menjadi komunitas, komunitas yang saling berinteraksi membentuk komunitas sosial, yang mana komunitas social ini saling berinteraksi membentuk masyarakat sosial yang dinamis.
Memang agak filsuf sekali menganalogikan kinerja pikiran bawah sadar dengan menjulangnya gunung es, dengan stigma (entah itu stigma positif atau negatif) calon presiden almarhumah yang akan mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional ini. Namun, kalau kita realistic, agaknya bukanlah tindakan yang bijak untuk memilih almarhumah presiden yang mempunyai masa lalu dilematis sebagai pahlawan nasional, mengingat para juri nantinya apabila memilih pemimpin dilematis, akan menghadapi bermacam-macam kritik sosial yang sebenarnya bertolak dari resistivitas masyarakat akan hal yang pernah dilakukan oleh pemimpin tadi yang sebenarnya resistifitas ini berakar dari fenomena gunung es tadi.
0 komentar:
Post a Comment