Kita sudah melewatkan tanggal 10 November, yang dulunya notabene merupakan tempat dimana mengingatkan kita di Surabaya, tentang tewasnya Brigadir A.W.S Mallaby dengan usaha-usaha lain yang menghancurkan Surabaya, hingga karena ke-heroikannya dijadikan hari pahlawan.
Kita juga sudah melihat betapa seorang Obama juga menghormati makam-makam pahlawan, lewat pidatonya di kuliah umum Balairung Universitas Indonesia, ia menyinggung masalah transformsi masa depan dengan korelasinya masa lalu. Bahwasanya Indonesia adalah Negara yang telah bebas dari penguasa yang berpegangan penuh absolutisme hingga menuju jaman demokrasi dengan rakyat yang menjalankan sistem elektif kepartaian dalam menjalankan pemilihan umum untuk memilih presiden. Tanpa menyinggung antara korelasi sejarah, yang menghasilkan mis-understanding nantinya, pidato obama memang lebih pada kharismanya yang bisa merengkuh bermacam-macam pihak di kalangan dunia.
Masih teringat di benak kita ketika presiden Soekarno memilih Tan Malaka, sebagai pahlawan nasional. Namun, pada zaman Soeharto tidak dimasukkan dalam buku sejarah. Menurut spesialis fornesik dan ahli odontologi, jasad Tan Malaka ketika itu tangannya ditali kebelakang dan ditembak dari kebelekang. Ini terlihat dari bukti-bukti yang ada.
Kita juga melihat tentang masalah pemberian Gelar Soeharto yang diberikan kepada Pejuang Maluku dan Papua seperti Lampessi. Ini merupakan salah satu gagasan ideal karena Negara kita msih banyak yang mempunyai seabrek jasa-jasa sebagai founding-father Negara republik Indonesia
Pemberian gelar budaya kepada beberapa pejuang semacam Romo Mangun dari Yogyakarta juga merupakan salah satu hal yang tidak bisa dianggap remeh temeh. Hasil sastranya, keanehan sastranya yang mengatakan bahwasanya sastra yang tertulis mengindikasikan pada tanggal tertentu ia akan meninggal, terlihat bahwasanya ia akan dihukum mati maupun ia akan siap-siap dibunuh pada tanggal itu.
Agaknya untuk kaum-kaum muda perlu untuk lebih ditanamkan sifat-sifat untuk menghargai nasionalisme, termasuk menghargai hari pahlawan itu sendiri. Menghagai hari pahlawan sama saja dengan menghargai hari pahlawan, yang mana hari pahlawan itu mengidentifikasikan bahwasanya kita juga menghargai sejarah nasional. Dengan menghargai sejarah nasioanal, secara tidak langsung kita belajar dan menjadi lebih bijak di masa depan, termasuk kita menghargai hari pahlawan itu sendiri.
Mengenai hal ini, sebaiknya tidak hanya kaum muda pula yang diberikan pembekalan sejarah nasioanal, melainkan juga kaum-kaum pemerintah yang didalamnya secara tidak sadar melencengkan arti dari nasionalisme itu sendiri dengan melakukan korupsi beberapa milyar rupiah. Sebenarnya untuk kaum-kaum senior yang justru lebih mengerti daripada kaum muda-muda, lebih membutuhkan suatu sentilan berupa fakta-fakta di amsa lalu maupun fakta di masa sekarang yang membuat kontras seakan-akan menyentil kehidupan hedon maupun riwayat korupsi para peraku koruptor.
Tidak salah apabila kita melihat banyak veteran-veteran pejuang Indonesia yang sebenarnya merupakan salah satu founding-father Negara Indonesia yang pada masa dahulu harus menyingsingkan lengan baju demi Indonesia, harus rela hidup dibawah UMR, atau bahkan lebih dari itu, hidup denga ala akdarnya, tanpa banyak campur tangan pemerintah untuk menaikkan statusnya, sehingga pemerintah perlu untuk lebih jeli dalam mengantisipasi banyaknya veteran atau paling tidak mereka harus mempunyai data-data berapa sampling error ataupun berapa data yang sudah terkover mengenai veteran-veteran yang sudah masuk tahap UMR maupun dibawahnya.
Sebenarnya kita sudah bagus melihat gelagat para wakil rakyat maupun presiden yang menyempatkan mengunjungi makam 14 pahlawan nasioanl, temasuk di Kalibata itu sendiri. Ini patut diacungi jempol, karena secara tidak langsung menumbuhkan minat para kaum-kaum muda untuk mencontoh senior, tetapi parahnya blow-up besar-besaran justru terjadi semacam kasus-kasus video porno, skandal korupsi dan sebagainya yang menjadikannya para penonton media elektronik menjadi dibombardir oleh info-info yang bersifat desktruktif yang dapat menghancurkan moralitas bangsa Indonesia, termasuk generasi muda itu sendiri. Hingga kehilangan nilai esensinya, penulis sendiri sebenarnya juga pernah bertemu dengan seorang sejarawan, ia menyitir bagaimana ini bisa terjadi, mengapa lagu Negara Indonesia dijadikan malam hari ataupun dini hari, itupun ketika penutupan suatu acara pada salah satu televisi nasional Indonesia? Tidak kah ada acara yang khusus memblow-up lagu-lagu nasionalisme diacara waktu prime-time dimana rating saat itu nyana-nyana dibombardir oleh acara semacam kuis ataupun sinetron yang sama sekali tidak mengandung unsur nasionalis? Apakah kita perlu menunggu acara-acara semacam hari kesaktian pancasila, hari kemerdekaan Indonesia, maupun hari pahlawan untuk memutar lagu-lagu kebangsaan? Apakah ini selalu dikait-kaitkan dengan politik ataupun brain-wash pikiran kita akan partai-partai tertentu apabila kita mempunyai acara seperti ini?
Ubah Paradigma? Itu perlu.
Perubahan paradigma, itu perlu apabila kita ingin membuat suatu evaluasi yang konsisten untuk menghasilkan suatu pemikiran baru, cara pikir baru dan pola pandang terbaru. Apabila kita me re evaluasi berikutnya atau mungkin di tahun berikutnya maupun abad berikutnya kita melihat anak cucu generasi kita mengkritisi lebih pedas mengenai ke-nasionalisme Indonesia yang pudar, apalagi era berikutnya adalah era pasar bebas 2025 dimana penyaringan antara budaya global dengan budaya local sudahlah sangat tipis hingga secara tidak langsung berujung pada penggerogotan sedikit demi sedikit ideologi Negara, jangan salahkan kita, apabila kita tidak bertindak merubah paradigma kita.
Sebagai tindak lanjut mengenai gelar pahlawan, saya juga pernah membahasnya pada artikel ini
Kita juga sudah melihat betapa seorang Obama juga menghormati makam-makam pahlawan, lewat pidatonya di kuliah umum Balairung Universitas Indonesia, ia menyinggung masalah transformsi masa depan dengan korelasinya masa lalu. Bahwasanya Indonesia adalah Negara yang telah bebas dari penguasa yang berpegangan penuh absolutisme hingga menuju jaman demokrasi dengan rakyat yang menjalankan sistem elektif kepartaian dalam menjalankan pemilihan umum untuk memilih presiden. Tanpa menyinggung antara korelasi sejarah, yang menghasilkan mis-understanding nantinya, pidato obama memang lebih pada kharismanya yang bisa merengkuh bermacam-macam pihak di kalangan dunia.
Masih teringat di benak kita ketika presiden Soekarno memilih Tan Malaka, sebagai pahlawan nasional. Namun, pada zaman Soeharto tidak dimasukkan dalam buku sejarah. Menurut spesialis fornesik dan ahli odontologi, jasad Tan Malaka ketika itu tangannya ditali kebelakang dan ditembak dari kebelekang. Ini terlihat dari bukti-bukti yang ada.
Kita juga melihat tentang masalah pemberian Gelar Soeharto yang diberikan kepada Pejuang Maluku dan Papua seperti Lampessi. Ini merupakan salah satu gagasan ideal karena Negara kita msih banyak yang mempunyai seabrek jasa-jasa sebagai founding-father Negara republik Indonesia
Pemberian gelar budaya kepada beberapa pejuang semacam Romo Mangun dari Yogyakarta juga merupakan salah satu hal yang tidak bisa dianggap remeh temeh. Hasil sastranya, keanehan sastranya yang mengatakan bahwasanya sastra yang tertulis mengindikasikan pada tanggal tertentu ia akan meninggal, terlihat bahwasanya ia akan dihukum mati maupun ia akan siap-siap dibunuh pada tanggal itu.
Agaknya untuk kaum-kaum muda perlu untuk lebih ditanamkan sifat-sifat untuk menghargai nasionalisme, termasuk menghargai hari pahlawan itu sendiri. Menghagai hari pahlawan sama saja dengan menghargai hari pahlawan, yang mana hari pahlawan itu mengidentifikasikan bahwasanya kita juga menghargai sejarah nasional. Dengan menghargai sejarah nasioanal, secara tidak langsung kita belajar dan menjadi lebih bijak di masa depan, termasuk kita menghargai hari pahlawan itu sendiri.
Mengenai hal ini, sebaiknya tidak hanya kaum muda pula yang diberikan pembekalan sejarah nasioanal, melainkan juga kaum-kaum pemerintah yang didalamnya secara tidak sadar melencengkan arti dari nasionalisme itu sendiri dengan melakukan korupsi beberapa milyar rupiah. Sebenarnya untuk kaum-kaum senior yang justru lebih mengerti daripada kaum muda-muda, lebih membutuhkan suatu sentilan berupa fakta-fakta di amsa lalu maupun fakta di masa sekarang yang membuat kontras seakan-akan menyentil kehidupan hedon maupun riwayat korupsi para peraku koruptor.
Tidak salah apabila kita melihat banyak veteran-veteran pejuang Indonesia yang sebenarnya merupakan salah satu founding-father Negara Indonesia yang pada masa dahulu harus menyingsingkan lengan baju demi Indonesia, harus rela hidup dibawah UMR, atau bahkan lebih dari itu, hidup denga ala akdarnya, tanpa banyak campur tangan pemerintah untuk menaikkan statusnya, sehingga pemerintah perlu untuk lebih jeli dalam mengantisipasi banyaknya veteran atau paling tidak mereka harus mempunyai data-data berapa sampling error ataupun berapa data yang sudah terkover mengenai veteran-veteran yang sudah masuk tahap UMR maupun dibawahnya.
Sebenarnya kita sudah bagus melihat gelagat para wakil rakyat maupun presiden yang menyempatkan mengunjungi makam 14 pahlawan nasioanl, temasuk di Kalibata itu sendiri. Ini patut diacungi jempol, karena secara tidak langsung menumbuhkan minat para kaum-kaum muda untuk mencontoh senior, tetapi parahnya blow-up besar-besaran justru terjadi semacam kasus-kasus video porno, skandal korupsi dan sebagainya yang menjadikannya para penonton media elektronik menjadi dibombardir oleh info-info yang bersifat desktruktif yang dapat menghancurkan moralitas bangsa Indonesia, termasuk generasi muda itu sendiri. Hingga kehilangan nilai esensinya, penulis sendiri sebenarnya juga pernah bertemu dengan seorang sejarawan, ia menyitir bagaimana ini bisa terjadi, mengapa lagu Negara Indonesia dijadikan malam hari ataupun dini hari, itupun ketika penutupan suatu acara pada salah satu televisi nasional Indonesia? Tidak kah ada acara yang khusus memblow-up lagu-lagu nasionalisme diacara waktu prime-time dimana rating saat itu nyana-nyana dibombardir oleh acara semacam kuis ataupun sinetron yang sama sekali tidak mengandung unsur nasionalis? Apakah kita perlu menunggu acara-acara semacam hari kesaktian pancasila, hari kemerdekaan Indonesia, maupun hari pahlawan untuk memutar lagu-lagu kebangsaan? Apakah ini selalu dikait-kaitkan dengan politik ataupun brain-wash pikiran kita akan partai-partai tertentu apabila kita mempunyai acara seperti ini?
Ubah Paradigma? Itu perlu.
Perubahan paradigma, itu perlu apabila kita ingin membuat suatu evaluasi yang konsisten untuk menghasilkan suatu pemikiran baru, cara pikir baru dan pola pandang terbaru. Apabila kita me re evaluasi berikutnya atau mungkin di tahun berikutnya maupun abad berikutnya kita melihat anak cucu generasi kita mengkritisi lebih pedas mengenai ke-nasionalisme Indonesia yang pudar, apalagi era berikutnya adalah era pasar bebas 2025 dimana penyaringan antara budaya global dengan budaya local sudahlah sangat tipis hingga secara tidak langsung berujung pada penggerogotan sedikit demi sedikit ideologi Negara, jangan salahkan kita, apabila kita tidak bertindak merubah paradigma kita.
Sebagai tindak lanjut mengenai gelar pahlawan, saya juga pernah membahasnya pada artikel ini
0 komentar:
Post a Comment