Motivasi, Artikel, dan Segala opini tentang saya
LPI vs ISLKita patut mengacungi jempol ketika kita mengetahui bahwa ada liga sekunder yang nantinya akan disahkan 11 januari ini di Semarang. Yakni system Liga Premier Indonesia, yang secara konseptual sudah berbeda dengan ISL yakni Indonesian Super League.Dari LPI sendiri sebenarnya lebih ke pada system bagi hasil antara sponsor, klub, dan manajemen LPI sendiri. Dari sini, LPI yang di gawangi oleh pengusaha-pengusaha sekelas Arifin Panigoro, dkk. Memberikan semacam terobosan bagi para pemilik-pemilik klub yang tidak puas akan ISL, sehingga mereka akan mengubah haluan atau lebih bisa bermain secara lebih bebas maupun ingin menggunakan atmosfir baru.Seperti yang kita ketahui sebelumnya apabila kita memperbandingkan LPI dengan ISL, setidak-tidaknya kita bisa mengerti bahwasanya pada ISL, ISL memberi kebijakan hanya meletakkan semacam sponsor yang hanya dilobi oleh ISL saja, berbeda dengan ISL, LPI disini lebih mengutamakan kelihaian para anggota maupun pemilik elit klub menggayung sebanyak mungkin sponsor untuk tim mereka, karena kita melihat sendiri bahwasanya LPI itu lebih berfokus pada independansi klub dari APBD.Sikap seperti ini timbul dikala ketua PSSI Nurdin Halid dan para staff-staffnya seperti Nugraha Basoes kurang puas akan kebijakan dan ingin membuat semacam terobosan yang mungkin bisa saja dapat membuat Negara Indonesia (dalam hal ini rakyat Indonesia per daerahnya) bisa terbantu dengan adanya independansi ini sehingga nantinya kas APBD daerah yang apabila derah yang bersangkutan menerapkan semacam kebijakan otonomi daerah, namun disisi lain juga memberikan paruh uang kas APBDnya kepada klub.Kita perlu menelusuri mengapa adanya sikap pembaharuan ini terjadi, yang pertama memang para klub ini dulunya memiliki semacam program-program tertentu yang bisa merogoh kocek atau bisa menjadi magnet untuk pendapatan kas klubnya sendiri, seperti mengadakan liga internal seperti persebaya, maupun dengan sistem-sistem semacam pembuatan U17 ataupun umur berapa yang merupakan pijakan bagi para junior pesepakbola suatu klub di Indonesia untuk menuju ke lapis utama timnas klub yang bersangkutan. Tetapi sikap dari para petinggi PSSI menyatakan bahwa ada sebagian ulah kreatif para klub ini di batasi atau bahkan dihilangkan sehingga bisa menyebabkan kebuntuan kreatifitas para pemilik klub dalam meraup untung, okelah mungkin ada yang menggunakan semacam supporter untuk menggalang dana, mungkin bisa saja dari tiket, ataupun kelihaian mencari sponsor, namun apabila kreatifitas itu tetap dihambat oleh petinggi PSSI, tetap saja membuat klub membangkang dari ISL.Yang kedua bisa saja ini terjadi ketika ada aktor dibalik layar penghenti atau pengatur jalannya pertandingan. Dalam artian selama aktor atau oknum dibalik layar semacam pengatur jalannya pertandingan masih berkeliaran, selama nepotisme dan korupsi oleh para aktor semacam meminta bayaran yang bukan semestinya (diluar statute PSSI) kepada klub, membayar untuk membeli permainan, maka yang terjadi akan timbul ketidak singkronisasi antara klub supporter, dan jajaran PSSI. Yang bisa menimbulkan pembelotan.Yang ketiga yakni ke absolutan suatu pemimpin. Banyak yang mengira suatu pemimpin itu di rotasi, supaya bisa berganti regulasi maupun berganti kebijakan, namun nyatanya ? tidak. Bahkan FIFA dan AFC tidak bisa menjatuhkan ke absolutan suatu pemimpin. Bagaimana ini bisa terjadi? Perlu di tera ulang para sifat atasan PSSI mengenai adanya keadaan seperti ini. Para rakyat berharap dengan bergantinya pemimpin, maka diharapkan achievement yang bisa diraih bisa meningkat kembali.Berlindung di balik Payung StatutaAgaknya PSSI perlu berfikir ulang mengenai pemberlakuan statuta untuk mengkover payung hukum ISL. Kita perlu tahu bahwa apabila berfikir tentang masalah hukum okelah antara pihak PSSI sebagai penyelanggara ISL dengan pihak pengusaha yang mengusahakan LPI, diakui semuanya mempunyai alas an tersendiri atas peristiwa yang terjadi, namun seperti yang kita ketahui apabila klub-klub ISL tidak ingin banyak yang membelot ke LPI diharapkan PSSI bukanlah merubah regulasi, tatapi lebih dari itu, mengubah puncak kepemimpinan. Layaknya sebuah papan catur yang terhampar ratu, benteng, kuda troya dan lain sebagainya, apabila kita menskak-mate Raja, maka sekuat atau sepelik apapun pikiran pemain, apabila raja sudah di skak-mate, seberapapun sisa dari benteng atau prajuritnya, tetap tidak berpengaruh terhadap permainan tadi. Ya, pemain yang rajanya di skak mate tetap kalah. Bagaimana penerapannya di dalam tubuh PSSI? Dengan menganalogikan bilah catur dengan perombakan tubuh PSSI, diharapkan 'raja' dari PSSI harus di skak-mate terlebih dahulu atau setidak-tidaknya dengan jumawa menyerahkan jabatannya kepada pihak lain yang lebih mumpuni, tanpa campur tangan kolusi dan nepotisme.Selama PSSI tidak melakukan perombakan di tubuh PSSI itu sendiri, yang terjadi hanyalah kemelut yang belum terkuak layaknya gunung es, diantara hingar binger pertandingan, ramai tidaknya supporter, yang ternyata di balik selimut itu banyak masalah yang mengakar. Jangan sampai terlambat, karena penonton pada akhirnya bisa men-judge, suatu pertandingan, apakah nantinya kalah-tidaknya merupakan suatu 'siklus' klub normal atau hanyalah sebuah konspirasi yang diatur sebelumnya
LPI vs ISL
Kita patut mengacungi jempol ketika kita mengetahui bahwa ada liga sekunder yang nantinya akan disahkan 11 januari ini di Semarang. Yakni system Liga Premier Indonesia, yang secara konseptual sudah berbeda dengan ISL yakni Indonesian Super League.
Dari LPI sendiri sebenarnya lebih ke pada system bagi hasil antara sponsor, klub, dan manajemen LPI sendiri. Dari sini, LPI yang di gawangi oleh pengusaha-pengusaha sekelas Arifin Panigoro, dkk. Memberikan semacam terobosan bagi para pemilik-pemilik klub yang tidak puas akan ISL, sehingga mereka akan mengubah haluan atau lebih bisa bermain secara lebih bebas maupun ingin menggunakan atmosfir baru.
Seperti yang kita ketahui sebelumnya apabila kita memperbandingkan LPI dengan ISL, setidak-tidaknya kita bisa mengerti bahwasanya pada ISL, ISL memberi kebijakan hanya meletakkan semacam sponsor yang hanya dilobi oleh ISL saja, berbeda dengan ISL, LPI disini lebih mengutamakan kelihaian para anggota maupun pemilik elit klub menggayung sebanyak mungkin sponsor untuk tim mereka, karena kita melihat sendiri bahwasanya LPI itu lebih berfokus pada independansi klub dari APBD.
Sikap seperti ini timbul dikala ketua PSSI Nurdin Halid dan para staff-staffnya seperti Nugraha Basoes kurang puas akan kebijakan dan ingin membuat semacam terobosan yang mungkin bisa saja dapat membuat Negara Indonesia (dalam hal ini rakyat Indonesia per daerahnya) bisa terbantu dengan adanya independansi ini sehingga nantinya kas APBD daerah yang apabila derah yang bersangkutan menerapkan semacam kebijakan otonomi daerah, namun disisi lain juga memberikan paruh uang kas APBDnya kepada klub.
Kita perlu menelusuri mengapa adanya sikap pembaharuan ini terjadi, yang pertama memang para klub ini dulunya memiliki semacam program-program tertentu yang bisa merogoh kocek atau bisa menjadi magnet untuk pendapatan kas klubnya sendiri, seperti mengadakan liga internal seperti persebaya, maupun dengan sistem-sistem semacam pembuatan U17 ataupun umur berapa yang merupakan pijakan bagi para junior pesepakbola suatu klub di Indonesia untuk menuju ke lapis utama timnas klub yang bersangkutan. Tetapi sikap dari para petinggi PSSI menyatakan bahwa ada sebagian ulah kreatif para klub ini di batasi atau bahkan dihilangkan sehingga bisa menyebabkan kebuntuan kreatifitas para pemilik klub dalam meraup untung, okelah mungkin ada yang menggunakan semacam supporter untuk menggalang dana, mungkin bisa saja dari tiket, ataupun kelihaian mencari sponsor, namun apabila kreatifitas itu tetap dihambat oleh petinggi PSSI, tetap saja membuat klub membangkang dari ISL.
Yang kedua bisa saja ini terjadi ketika ada aktor dibalik layar penghenti atau pengatur jalannya pertandingan. Dalam artian selama aktor atau oknum dibalik layar semacam pengatur jalannya pertandingan masih berkeliaran, selama nepotisme dan korupsi oleh para aktor semacam meminta bayaran yang bukan semestinya (diluar statute PSSI) kepada klub, membayar untuk membeli permainan, maka yang terjadi akan timbul ketidak singkronisasi antara klub supporter, dan jajaran PSSI. Yang bisa menimbulkan pembelotan.
Yang ketiga yakni ke absolutan suatu pemimpin. Banyak yang mengira suatu pemimpin itu di rotasi, supaya bisa berganti regulasi maupun berganti kebijakan, namun nyatanya ? tidak. Bahkan FIFA dan AFC tidak bisa menjatuhkan ke absolutan suatu pemimpin. Bagaimana ini bisa terjadi? Perlu di tera ulang para sifat atasan PSSI mengenai adanya keadaan seperti ini. Para rakyat berharap dengan bergantinya pemimpin, maka diharapkan achievement yang bisa diraih bisa meningkat kembali.
Berlindung di balik Payung Statuta
Agaknya PSSI perlu berfikir ulang mengenai pemberlakuan statuta untuk mengkover payung hukum ISL. Kita perlu tahu bahwa apabila berfikir tentang masalah hukum okelah antara pihak PSSI sebagai penyelanggara ISL dengan pihak pengusaha yang mengusahakan LPI, diakui semuanya mempunyai alas an tersendiri atas peristiwa yang terjadi, namun seperti yang kita ketahui apabila klub-klub ISL tidak ingin banyak yang membelot ke LPI diharapkan PSSI bukanlah merubah regulasi, tatapi lebih dari itu, mengubah puncak kepemimpinan. Layaknya sebuah papan catur yang terhampar ratu, benteng, kuda troya dan lain sebagainya, apabila kita menskak-mate Raja, maka sekuat atau sepelik apapun pikiran pemain, apabila raja sudah di skak-mate, seberapapun sisa dari benteng atau prajuritnya, tetap tidak berpengaruh terhadap permainan tadi. Ya, pemain yang rajanya di skak mate tetap kalah. Bagaimana penerapannya di dalam tubuh PSSI? Dengan menganalogikan bilah catur dengan perombakan tubuh PSSI, diharapkan 'raja' dari PSSI harus di skak-mate terlebih dahulu atau setidak-tidaknya dengan jumawa menyerahkan jabatannya kepada pihak lain yang lebih mumpuni, tanpa campur tangan kolusi dan nepotisme.
Selama PSSI tidak melakukan perombakan di tubuh PSSI itu sendiri, yang terjadi hanyalah kemelut yang belum terkuak layaknya gunung es, diantara hingar binger pertandingan, ramai tidaknya supporter, yang ternyata di balik selimut itu banyak masalah yang mengakar. Jangan sampai terlambat, karena penonton pada akhirnya bisa men-judge, suatu pertandingan, apakah nantinya kalah-tidaknya merupakan suatu 'siklus' klub normal atau hanyalah sebuah konspirasi yang diatur sebelumnya
daku pilih LPI aja lah, klub yg bergabung lebih bisa berkembang dan juga dapet pembagian keuntungan... emangnya LSI, semuanya buat PSSI, eh lebih tepatnya para pejabatnya denk! klub tinggal gigit jari aja, kcuali mungkin buat jawaranya kali ya..
Post a Comment
Pembaca yang budiman, Selamat datang di Blog nya Cemol, Saya hanyalah seonggok daging yang diberi kekuatan untuk menulis bait-per-bait, kata-per-kata. Seorang Pembelajar sejati di bidang medis. Suka baca buku kedokteran, motivasi. Saya orang keturunan jawa merauke yang lahir besar di kabupaten Mappi, kota tercinta 1000 rawaBlog ini berisi motivasi dan opini. Dengan ada kritikan, maka diharap ada feedback sehingga suatu regulasi bisa tertata lebih apik. Semoga bermanfaat.
1 komentar:
daku pilih LPI aja lah, klub yg bergabung lebih bisa berkembang dan juga dapet pembagian keuntungan... emangnya LSI, semuanya buat PSSI, eh lebih tepatnya para pejabatnya denk! klub tinggal gigit jari aja, kcuali mungkin buat jawaranya kali ya..
Post a Comment