Saturday, July 16, 2016

Vaksin Palsu. Salah RS BPOM POLISI atau Menteri Kesehetan?




Tidak satupun musibah yang menimpa diri kalian dan yang di atas muka bumi kecuali telah tertulis sebelumnya (QS Al-Hadid: 22).

Demikian ayat suci yang terlintas pikiran saya ketika RS Multazam Medika yang kami kelola menerima surat panggilan dari Bareskrim terkait kasus vaksin palsu pada bulan Ramadhan yang lalu. Masya Allah, rupanya selama ini kami telah menjadi korban penipuan pembuat dan pengedar vaksin palsu. Astaghfirullah, kami telah ditipu.

Sepulang dari Bareskrim kami berpikir keras. Bukan karena interogasi yang terkesan menyudutkan. Atau menyesali kelengahan kami menjamin kualitas produk (padahal BPOM sendiri kesulitan membedakan antara vaksin asli dan palsu). Bukan pula potensi kasus hukum dan rusaknya reputasi yang selama ini kami bangun. Bukan itu semua.

Yang lebih menguras pikiran adalah bagaimana kami harus ikut bertanggung jawab karena secara moral kami adalah korban penipuan yang telah secara tidak sengaja menipu orang lain. Malu, marah, sedih, kecewa, kesal, takut, seluruhnya campur aduk jadi satu.

Sebelumnya kami lelah menunggu kiriman dari PT Biofarma, dan akhirnya terpaksa harus mencari dari sumber lain. Kami lengah karena harus berupaya semaksimal mungkin untuk menyediakan vaksin demi kepentingan pasien. Setelah kami lelah dan lengah kami pun akhirnya ditipu.

Toh kami tidak sendirian. Bersama kami ada ratusan fasilitas dan tenaga kesehatan yang ikutan tertipu. Termasuk pasien-pasien kami, yang mana sedang kami data untuk kami hubungi dan kemudian kami periksa satu persatu untuk memastikan bahwa vaksin yang telah mereka terima tidak berdampak buruk, sambil tak lupa memohon minta maaf plus memberikan vaksinasi ulang secara gratis. Ini pekerjaan tambahan yang insya Allah kami lakukan dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Yang ini insya Allah mudah karena kami punya tim yang solid.

Yang sulit justru menghadapi tekanan dari pihak-pihak yang mencoba untuk mengambil keuntungan dan mempolitisir situasi ini.

Coba saja:

Pertama, Bareskrim habis-habisan menginterogasi padahal kami lebih tidak tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi ketimbang mereka. Wong kami kan di sini saksi korban. Korban penipuan dajjal serakah yang menipu anak buah kami yang putus asa menunggu kuota dari PT Biofarma. Mungkin juga korban penipuan sindikat yang sengaja membuat stok langka di pasaran sehingga memuluskan langkah para tersangka. Mungkin juga permainan oknum.

Kedua, Komisi IX DPR-RI mengalihkan isu internal mereka dengan menekan Kemenkes untuk melaporkan hasil penyidikan sesegera mungkin. Padahal yang menyidik bukan Kemenkes melainkan Bareskrim Polri. Kemenkes dan BPOM sebetulnya paling rawan posisinya karena jadi ketahuan deh selama ini kondisi di lapangan seperti apa. Berarti ada yang tidak berfungsi dan bekerja. Kalau negara sigap, tentunya tidak akan seperti ini. Dan kasus ini bisa jadi hanya pucuk gunung es yang mudah-mudahan terbongkar tuntas karena sudah ada yang terlanjur menjadi tumbal, yakni para pasien dan kami para penyedia fasilitas kesehatan swasta.

Ketiga, Bu Menkes “cuci tangan" dengan main tembak mengumumkan nama kami, 14 fasilitas kesehatan swasta yang terkait kasus ini di media massa. Wah-wah-wah, padahal 20 orang yang jelas-jelas berstatus tersangka saja baru hanya disebutkan inisialnya. Kok para korbannya malah diumbar di publik? Padahal penyidikan belum tuntas dan akan diperluas. Lha kok tanpa ba-bi-bu langsung nama kami diumumkan? Jelas ini melanggar akal sehat, etika, dan asas praduga tidak bersalah. Terlebih selain meregistrasi dan mengawasi, tugas Kemenkes juga membimbing fasilitas kesehatan swasta, bukannya malah menjerumuskan seperti ini..

Keempat, seperti yang sudah diduga sebelumnya, semua latah. YLKI latah. Wartawan dan LSM lebih latah lagi. Sebentar lagi Facebook dan Whatsapp ikut latah. Yang disajikan akhirnya bukan berita melainkan tuduhan, kerancuan bahasa dan akhirnya opini dan prasangka. Apa mereka pikir kami rela mempertaruhkan reputasi kami hanya untuk mengejar "recehan" dari keuntungan vaksin? Apa mereka pikir kami untung bermilyar-milyar rupiah dari urusan vaksin? Faktanya, kami tertipu vaksin palsu senilai kurang lebih 11 juta rupiah sejak tahun 2015. Kalau harga vaksin sekitar Rp. 300 ribu, perkiraan saya korbannya sekitar 36 orang yang kesemuanya masih dalam proses pendataan. Tapi yang sudah jelas, 3 orang cucu pemilik Rumah Sakit dan beberapa orang anak karyawan kami juga ikut menjadi korban. Apakah penderitaan kami belum cukup juga?

Kelima, masalah di industri farmasi sebetulnya merupakan masalah "industri tetangga sebelah". Buat kami ini "roaming" alias "dunia lain" serta tidak bisa kami kontrol dinamikanya. Nah, siapa suruh vaksin hanya diproduksi oleh 1 BUMN yang untuk menjaga supply beberapa item vaksin saja tidak becus? Padahal pabrik obat dan vaksin banyak, impor pun bisa. Lalu, siapa suruh BUMN itu cuma tunjuk 4 distributor resmi untuk seluruh wilayah Indonesia? Salah desain monopoli, kenapa kami dan masyarakat yang dikorbankan? Kalau keaslian produk menjadi tanggungjawab penjual, kenapa pembeli yang dihakimi? Itu kan gunanya razia DVD bajakan dan apparel bermerk di mall-mall? Karena produsen produk asli merupakan pihak yang paling berkepentingan untuk mengamankan sales, melindungi merk, serta menjamin konsumen mereka agar tidak tertipu dan membeli barang palsu.

***

Ini semua adalah permainan yang sungguh aneh. Dan dikarenakan fasilitas kesehatan swasta menjadi korban yang paling hakiki, ini menjadi permainan yang sungguh tidak lucu. Seperti bocah yang jadi korban penipuan, lalu di-bully media dan masyarakat, lalu dibuang oleh Ibu Kemenkes yang takut kehormatannya tergores.

Yah, alhamdulillah aja deh.

Lho kok malah alhamdulillah? Ya alhamdulillah saja. Mungkin kami memang harus berlari (lagi) kepada Allah. Karena kami sedang tidak bisa lari kepada pemerintah, negara, apalagi pengacara. Kami terima apapun yang telah tertulis di atas sana, dan kami akan melanjutkan perjuangan ini bersama-sama. Kami tinggal menagih janji Allah bahwa "ketika datang kebenaran, maka yang bathil akan sirna" (QS al-Isra: 81). Adagium Jawanya: bechik kethithik, ala ketara. Suka-suka lah negara dan pemerintah mau bagaimana. Suka-suka pers lah mau memberitakan apa. Meminjam istilah Pak Jokowi: aku ra popo.

Alhamdulillah dulu saja. Ini peluang untuk kawan-kawan di RS Multazam Medika untuk semakin tidak mudah ditipu orang. Untuk semakin kritis memaknai hubungan bisnis dan kepercayaan. Untuk terus-menerus memperbaiki diri dalam berupaya semaksimal mungkin menjamin keselamatan dan kesehatan pasien. Untuk menegakkan Standard Operating Procedure. Dan ketika didzalimi begini, sebetulnya ini peluang untuk didengar doanya oleh Allah karena doa yang paling didengar adalah doa mereka yang terdzalimi. Industrinya begini, negaranya begini, persnya juga begini. Ya kita mau apalagi?

Yang penting kasus ini bisa diusut sampai tuntas. Yang penting kasus ini tidak terjadi lagi di kemudian hari. Dan mudah-mudahan kasus seperti ini tidak pernah menimpa keluarga kita sendiri.

Siapa tahu, ujian dan kasus semacam ini akan membawa kita naik kelas dan membuat kita semakin kuat serta fasih menertawai diri sendiri. Mumpung belum ada yang bisa produksi vaksin anti menangis.

Selamat hari Jum'at, Bobotoh Goyobod, mungkin enak ya kalau ada yang jual vaksin anti apes?

Tukang Goyobod,

Rancamaya


sumber gambar: kompas
sumber berita : forum ui

1 comment:

  1. Wah kejahan saat ini sungguh makin luarbiasa, , ya Gan...

    ReplyDelete

Rasakan kebebasan berkomentar di blog CeMoL... Terserah dech... Komentar anda adalah saran bagi saya.